Menurut pasal 154A UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Kluster Ketenagakerjaan) PHK dapat terjadi karena beberapa alasan, seperti:
- Perusahaan melakukan penggabungan,peleburan, pengambilalihan, atau pemisahanperusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
- Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
- Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
- Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
- Perusahaan pailit;
- adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh
Dalam teori Hukum Perburuhan dikenal adanya 4 (empat) jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu sebagai berikut :
 1. Pemutusan Hubungan Kerja demi Hukum 
Jenis PHK yang pertama ini adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pelaku usaha karena berakhirnya jangka waktu perjanjian (kontrak kerja) yang dibuat antara pelaku usaha dengan pekerja.
2. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Buruh/Pekerja 
PHK jenis ini juga dikenal sebagai pemutusan hubungan kerja sukarela atau yang diprakarsai karyawan (voluntary turnover) itu sendiri.
3. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 158 ayat (1) UndangUndang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pengusaha dapat memutusakan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat.
4. Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan artinya pelaku usaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh melalui pengadilan negeri dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan-berat karena melanggar hukum yang berlaku. Pelaku usaha melayangkannya ke pengadilan negeri, bukan ke pengadilan hubungan industrial.
Prosedur PHK
Tahap Pertama: Musyawarah
musyawarah bertujuan guna mendapatkan pemufakatan yang dikenal dengan istilah bipartit. Dengan adanya musyawarah ini kedua belah pihak akan melakukan pembicaraan untuk menemukan solusi terbaik untuk perusahaan maupun karyawan.
Tahap Kedua: Media dengan Disnaker
Jika permasalah yang terjadi tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah, maka diperlukannya bantuan dari dinas tenaga kerja (disnaker) setempat. Dengan tujuan untuk menemukan cara penyelesaian apakah melalui mediasi atau rekonsiliasi.
Tahap Ketiga: Mediasi Hukum
Ketika pada tahap bantuan Disnaker tidak mampu menyelesaikan masalah antara kedua belah pihak, maka selanjutnya upaya hukum dapat dilakukan hingga pengadilan.
Tahap Ke-empat: Perjanjian Bersama
Jika ternyata dalam proses musyawarah di tingkat bipartit telah mencapai suatu kesepakatan maka hal ini dapat ditulis dalam Perjanjian Bersama.
Tahap Ke-lima: Memberikan Uang Pesangon
Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja, maka perusahaan wajib memberikan uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada karyawan. Aturan dalam pemberian pesangon dan uang penghargaan ini sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 Pasal 2 dan Pasal 3.
Berdasarkan pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, pekerja berhak mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak jika terjadi PHK.
- Uang pesangon adalah hak karyawan PHK, berupa uang dari perusahaan/pengusaha sebagai akibat adanya PHK. Jumlahnya sama dengan gaji pokok ditambah dengan tunjangan tetap lainnya atau sama dengan gaji setiap bulannya.
- Uang penghargaan masa kerja diberikan sebagai tanda loyalitas karyawan terhadap suatu perusahaan. Syaratnya, kalian harus bekerja minimal 3 tahun di perusahaan tersebut.
- Uang penggantian hak karyawan PHK, yakni UPH ini merupakan ganti rugi terhadap hak kalian yang belum diambil.
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar